Berselimut Awan Hitam
“ Dian.... jangan tidur terus, pergilah ke
rumah bu Rohma untuk cuci pakaian, nanti keburu sore!” teriak ibu dari kamarnya.
Aku segera saja bangkit dari tidur siang yang tidak seberapa lama. “ Iya bu...
“ jawabku singkat. Aku segera bersiap dan bergegas ke rumah bu Rohma. Ya...inilah
aku “Dian” seorang gadis miskin dan aku
juga adalah babu di rumah orang untuk memenuhi kebutuhan keuangan keluargaku.
Karena ibu, sudah sering sakit-sakitan, banyak pikiran akibat keluarga yang
jatuh bangkrut, dan ayah yang telah berpulang untuk selamanya. Semua itu
membuat aku harus bertahan untuk hidup.
Setiba di depan rumah
bu Rohma, aku lihat mobil yang biasa parkir tidak ada. “Apa bu Rohma pergi ya?”
tanyaku dalam hati. Tapi kuputuskan untuk memencet bel terlebih dahulu untuk
memastikan. Tak berapa lama, pintu terbuka, dan Bagas yang berdiri di pintu
itu. Hah... murid baru di sekolahku tinggal di sini? Benar-benar musibah!
“ Dian?” tanyamu kaget. Aku tentunya
lebih kaget lagi, apa yang harus aku katakan pada si Bagas ini. “Realistis
ajalah Dian” pikirku.
“ Eh Bagas... aku kerja di rumah ini”
jawabku singkat, dan berharap dia tak bertanya lagi.
“ Kerja di sini? Eh... Maksudnya? tanya
Bagas lagi.
“ Ehmm ya... aku bantuin nyuci di rumah
Bu Rohma selama ini, kamu tinggal di sini ya?” aku balik bertanya, aku sudah
putuskan, malu tidaklah ada gunanya.
“ Iya, ini rumah bude’ ku, ayo masuk!”
jawabmu ramah.
“ Iya” jawabku sambil berlalu menuju
tempat biasanya mencuci.
Bagas terlihat mengekor di belakangku.“
Dian...” Bagas ingin memulai pembicaraan, tapi segera aku potong, karena ini
akan mengganggu waktu kerjaku. Siswa baru di kelasku ini tidak perlu banyak
tahu.
“ Maaf Bagas, aku mesti kerja nih, mesti
cepat”
“ Eh... iya, baiklah”
Kenapa juga Bagas harus
jadi keponakan bu Rohma, tempat aku bekerja. Bagas mungkin tidak mempersoalkan
pekerjaanku ini, dia kelihatan baik. Walau siswa baru, tapi dia tanggap
terhadap situasi. Seperti yang terjadi di sekolah tadi, Tania cs mengejek dan
menjahili aku, tapi Bagas yang merupakan siswa baru di sekolah, hadir sebagai
pahlawan. Dia membelaku dari keisengan Tania cs dan juga membantuku kala aku
hampir pingsan di sekolah. Ya... akhir – akhir ini aku sering sekali sakit
kepala. Aksi aku yang tak mau berbicara dengan Bagas sekarang, bukan berarti
aku tidak berterima kasih, cuma aku tidak mau merepotkan orang lain, dan
dikasihani!
Setelah selesai
mencuci, tugas lainnya adalah menggosok. Aku menuju kamar di mana biasa aku
menggosok, tepatnya dekat ruang tengah di keluarga ini. Aku lihat Bagas sedang
menonton tv. Bagas hanya diam dan memperhatikan aku bekerja.
“ Dian, kalau mau minum ambil sendiri
ya” Bagas menawarkan minum.
“ Iya” jawabku singkat.
Tak berapa lama, bu Rohma pulang, Bagas
bergegas membawa belanjaan bu Rohma ke dapur. Kemudian bu Rohma, mengampiriku
yang sedang mengosok pakaian.
“ Aduh Dian... ibu sampai lupa, hari ini
jadwal kamu menggosok di sini, untung ada Bagas di rumah” bu Rohma menyapa,
kemudian berkata lagi “ Oh ya sini dulu Bagas!”
Bagas mengampiri budenya dan aku.
“Iya bude” jawab Bagas
“ Ini Dian, dia satu sekolah sama kamu”
bu Rohma berusaha mengenalkan kami.
“ Iya bude, sudah kenal, kita satu kelas
kok” lanjut Bagas
“ Wah Bagus itu... Dian ini juara kelas loh,
kamu bisa belajar dari dia, kamu kan belum banyak mengerti di sekolah yang baru
ini” lanjut bu Rohma kepada Bagas.
“ Iya bude” jawab Bagas singkat.
“ Nak Dian, mau kan membantu Bagas
beradaptasi di sekolah?” tanya bu Rohma.
“ Iya bu” jawabku singkat.
Bagas terlihat tersenyum mendengar
jawabanku itu.
Setelah tugasku selesai
semua, aku berpamitan pulang. Bagas mengantarkanku sampai depan rumah. “ Ehmm,
kamu kok diam aja, seperti ingin menjaga jarak” Bagas memulai percakapan di
depan rumah bu Rohma.
“ Lalu? Apa aku harus pura-pura dekat
begitu? Kita kan baru kenal, walau kamu sudah bantu aku di sekolah tadi, bukan
berarti kita berteman. Di kelas, tidak ada seorangpun yang mau berteman
denganku!” jawabku ketus.
“ Dian... mungkin itu perasaanmu saja,
karena ada sebagian siswa yang usil itu, tapi tidak semua...” Bagas menegaskan.
“ Sudah ya, aku mau pulang, sudah mau
Magrib” jawabku sambil berlalu.
Bagas hanya tertunduk diam, melihat
reaksiku.
Cuaca
sore ini tidak begitu bersahabat, awan hitam telah memenuhi langit yang luas
itu. Pertanda hari akan hujan, dan aku harus sampai di rumah sebelum hujan
turun. Ternyata guruh dan petir tak kalah hebatnya, mulai memperlihatkan
kegagahannya di atas sana. Rintik hujanpun mulai berjatuhan. Aku segera lari
menyusuri blok demi blok menuju gubukku di ujung sana. Rambutku mulai basah,
baju lusuh inipun sudah menempel tepat di badan, dan aku terus berlari...
Setiba
di depan rumah, keadaan tak seperti biasanya. Suasana ramai tetapi hening, ada
beberapa tetangga berdatangan membawa payung. Susunan payung di depan rumahpun
tak tersusun rapi, ada yang dikuncupkan, ada yang dikembangkan, bergerak ke
kiri dan ke kanan ditiup angin dan didera air hujan. Pasti ada sesuatu yang
terjadi di rumahku. Seketika aku mengingat ibuku...
“ Ada apa ini?” aku
menghampiri adikku yang terisak sedih di sudut ruangan. Dia hanya diam, tapi
aku segera tahu, ibu telah terbujur di ruang tengah yang sempit ini. Telah
tertutup kain batik panjang. Tangisku pecah, lelah setelah bekerjapun menjadi
bertambah, tangan, badan dan kakiku seakan tak bisa digerakkan. “Cobaan apa
lagi ya Tuhan yang kau beri kepadaku” tanyaku dalam hati.
Joan
adikku menangis terseduh-seduh. Aku memeluknya, menenangkannya. Walau
sebenarnya dirikupun tak tenang, banyak pertanyaan dibenakku. Semua terasa
lengkap sudah penderitaanku.
***
Rumah
terasa hening, hanya ada aku dan Joan. “Jo...” suara lirihku memanggilnya. Joan
menghampiriku, duduk dipangkuanku. “ Iya kak, jangan sedih kak, ayah dan ibu
pasti bahagia di alam sana”. Joan yang kecil ini bisa begitu tegar dibanding
aku. Kuberi dia senyuman, tanda aku tak bersedih. Predikat yatim piatu segera
kami sandang. Kemana saudara-saudaraku? Betapa keji meraka tega melihat kami
begini. Semua tak memperdulikan kami. Tetapi semua tak perlu disesali, aku
harus berpandangan ke depan, Joan telah memberi kekuatan bagiku.
“ Joan, dengarkan,
mulai sekarang, bila kakak ke sekolah, kamu di rumah saja! Karena kakak tidak
mungkin bawa kamu ke sekolah”
“ Iya kak..”
“ Kalau sudah pulang,
baru ikut kakak kerja ya” terangku dengan semangat.
“ Iya kak..” jawab Joan
lagi dengan tersenyum.
Hari-hari
kami lalui dengan penuh kerja sama. Joan anak yang baik dan patuh. Di sekolah
aku juga tidak menemui banyak kendala, Tania cs? Hanya gangguan kecil yang
tidak berarti lagi bagiku.
Aku
dan Joan menyusuri jalan dengan berlari-lari kecil untuk pergi kerja. Hari ini
ada dua rumah, jadi harus bergegas agar lebih cepat selesai semuanya. Rumah bu
Suci dan juga bu Rohma. Kami ke rumah bu Suci terlebih dahulu. Rumah bu Rohma,
bagian yang terakhir, dan kami tiba di rumahnya sudah pukul 16.00 WIB. Aku
segera mencuci, Joan membantuku, sehingga pekerjaan menjadi lebih ringan dan
cepat.
“ Dian, nanti kalau
sudah selesai, temui ibu dulu ya” bu Rohma mengajukan permintaan.
“ Iya bu” jawabku
singkat. Dalam hati aku berpikir apakah bu Rohma ingin memberi gajiku atau apa
ya? Ehmm semoga hal yang menyenangkan.
Setelah selesai, segera
aku temui bu Rohma. Dia berada di teras samping rumahnya. Ada Bagas juga di
sana. “ Iya, ada apa bu?” tanyaku
“ Begini Dian, ibu ada
permintaan, bisakah kamu meluangkan waktu untuk belajar bersama Bagas di rumah
ini. Kamu jangan merasa canggung, ....” suara bu Rohma perlahan hilang dari
pendengaranku. Aku limbung, entah kenapa kepalaku terasa berat, sekelebat
bayangan Joan nampak di mataku. Brukk aku jatuh dan tak ingat apa-apa lagi...
***
Perlahan
aku membuka kelopak mata yang terasa berat ini. Kuperhatikan sekeliling,
suasana tampak berbeda, ini jelas bukan gubuk kami. Kupertajam tatapan mataku
mencari sosok Joan kecilku, dan aku melihatnya. Dia berada di sampingku, duduk
di kursi ruangan ini, ada bu Rohma juga di sana. Ya aku baru ingat, aku tadi
pingsan ketika berbicara dengan bu Rohma. Bu Rohma memang majikan paling baik
yang aku kenal, pasti dialah yang berinisiatif membawaku kemari.
“ Dian kamu sudah sadar
?, syukurlah ibu khawatir sekali, ibu takut perkataan ibu yang membuat kamu
syok atau apa” bu Rohma tampak cemas.
“ Kakak...” Joan
merangkulku, “ Kakak jangan sakit, Joan takut...”
“ Iya sayang, dan
terima kasih ibu sudah membantu saya” Ada hal yang aku cemaskan selain
kondisiku, yaitu biaya rumah sakit ini, sebenarnya aku cukup di kipas-kipas
saja agar bangun dan tak perlu dibawa kesini.
“ Dian, jangan risaukan
biaya rumah sakit ini, ibu nanti yang tanggung jawab” bu Rohma seakan
mengetahui isi hatiku. Aku mengangguk dan tersenyum padanya.
Malam
ini Bagas yang menunggui aku di rumah sakit. Bu Rohma dan Joan pulang, Joan
tentunya menginap di rumah bu Rohma. Bagas banyak cerita malam ini, tentang
keluarganya, juga nasibnya yang hampir sama denganku. Dia memintaku untuk lebih
terbuka, dan menerima uluran tangan orang lain.
Paginya,
pintu kamar diketuk, ternyata jadwal kunjungan dokter. Seorang Dokter dan
beberapa perawat masuk ke dalam ruangan.
“ Saya baik-baik saja
dok, kalau bisa minta pulang hari ini” aku mengajukan permintaan.
“ Belum bisa dek,
apakah ada keluarga, ibu atau ayah misalnya, ada hal yang perlu saya sampaikan”
Aku dan Bagas
berpandangan. “ Saya tidak punya keluarga lagi Dok, silahkan berbicara langsung
kepada saya” kulihat wajah Dokter yang serius itu. Mau bicara sama siapa lagi,
toh aku sendiri di dunia ini, Bagas? Dia bukan siapa-siapa.
“ Apakah dek Dian
sering pusing atau sakit kepala?” Dokter bertanya.
“ Iya”
“ Pingsan?”
“ Tidak juga, ada
beberapa kali” jawabku.
“ Ehm... ini baru
prediksi awal, adek terkena miningitis, tapi kita perlu pemeriksaan lebih
lanjut, jadi belum boleh pulang dulu ya” dokter tersenyum kemudian berbicara
dengan perawat sebelum keluar ruangan.
“
Bagaimana ini Dian, penyakit apa tadi itu kata dokter? Tetapi sebaiknya kamu
tetap di sini, sampai benar – benar sembuh” saran Bagas. Ya... sekarang Bagas
menjadi akrab akibat insiden ini. Tapi aku tidak begitu memperdulikannya lagi,
aku pernah membaca mengenai penyakit ini. Ini penyakit mematikan, akibat
bakteri yang sampai ke otak, angka kematian bisa mencapai 50%.
Hidupku
memang telah tertutup awan hitam, malah tubuhku telah terselimuti, tak ada
celah lagi sepertinya. Aku harus bagaimana ya Tuhan, apakah meneruskan berobat
dengan biaya yang tidak ada, atau malah memberatkan orang lain... sungguh aku
tidak sanggup, toh aku akan mati juga nantinya.
“ Kita langsung
mengurus keluar saja sama bagian administrasi Bagas, aku pulang saja, miningitis
penyakit biasa kok, tidak perlu dikhawatirkan” jelasku. Bagas hanya mengangguk,
karena tidak mengetahui hal yang sebenarnya.
Telah
seminggu aku keluar rumah sakit, aku juga telah berhenti bekerja. Ada beberapa
tabungan diam-diamku yang rencana kugunakan untuk modal kuliah, aku beritahukan
kepada Joan. Sekarang Joan harus mandiri, dia menyimpan uang simpanan UHF
itu dan ada beberapa
perhiasan ibu yang masih tertinggal. Joan yang berumur 6 tahun telah dewasa
sebelum umurnya, dia telah ditempa. Aku ingin tidak ada sesuatu yang mengganjal
lagi nantinya.
Penyakitku
bertambah parah, tapi Joan sudah kuberi tahu, apabila aku jatuh pingsan dan
lama, cukup tunggui saja, jangan panik. “ Kalau kakak tak bernyawa lagi,
pergilah ke panti itu ya, kakak sudah menghubungi kepalanya kemarin” kataku
kepada Joan suatu hari. Aku berencana menitipkan Joan ke panti asuhan.
“ Kakak jangan ngomong
seperti itu, kakak tidak akan pergi jauh...tidak akan meninggalkan Joan...”
Joan memelukku. Kami menangis bersama. Lambat laun, hal ini pasti terjadi.
Gejala sepele yang dari dulu aku rasakan, tak kuperdulikan sampai dokter
mendiagnosanya.
Joan
selalu bersamaku akhir-akhir ini, kami menghabiskan waktu bersama. “ Joan...ingat semua pesan kakak, kakak
akan tersenyum bahagia jika Joan baik-baik saja” kataku lirih.
“ Kakak...” Joan
memelukku erat, seakan tak ingin berpisah, badannya berguncang hebat, suara
tangisan yang tertahan di mulutnya membuat dia begitu lemah. Hangat tangannya
masih kurasa, aku tidak mau pergi Joan, sungguh..tapi inilah nasib kakakmu. Seketika
datanglah malikat menjemputku, waktuku telah tiba, Dia membuka selimut hitam
yang terasa berat kugunakan, membebaskanku dari beban dunia, dan membawaku
pergi selamanya...
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar