Sabtu, 11 Januari 2014

CERPEN



 Berselimut Awan Hitam

 “ Dian.... jangan tidur terus, pergilah ke rumah bu Rohma untuk cuci pakaian, nanti keburu sore!” teriak ibu dari kamarnya. Aku segera saja bangkit dari tidur siang yang tidak seberapa lama. “ Iya bu... “ jawabku singkat. Aku segera bersiap dan bergegas ke rumah bu Rohma. Ya...inilah aku “Dian” seorang gadis  miskin dan aku juga adalah babu di rumah orang untuk memenuhi kebutuhan keuangan keluargaku. Karena ibu, sudah sering sakit-sakitan, banyak pikiran akibat keluarga yang jatuh bangkrut, dan ayah yang telah berpulang untuk selamanya. Semua itu membuat aku harus bertahan untuk hidup.
Setiba di depan rumah bu Rohma, aku lihat mobil yang biasa parkir tidak ada. “Apa bu Rohma pergi ya?” tanyaku dalam hati. Tapi kuputuskan untuk memencet bel terlebih dahulu untuk memastikan. Tak berapa lama, pintu terbuka, dan Bagas yang berdiri di pintu itu. Hah... murid baru di sekolahku tinggal di sini? Benar-benar musibah!
“ Dian?” tanyamu kaget. Aku tentunya lebih kaget lagi, apa yang harus aku katakan pada si Bagas ini. “Realistis ajalah Dian” pikirku.
“ Eh Bagas... aku kerja di rumah ini” jawabku singkat, dan berharap dia tak bertanya lagi.
“ Kerja di sini? Eh... Maksudnya? tanya Bagas lagi.
“ Ehmm ya... aku bantuin nyuci di rumah Bu Rohma selama ini, kamu tinggal di sini ya?” aku balik bertanya, aku sudah putuskan, malu tidaklah ada gunanya.
“ Iya, ini rumah bude’ ku, ayo masuk!” jawabmu ramah.
“ Iya” jawabku sambil berlalu menuju tempat biasanya mencuci.
Bagas terlihat mengekor di belakangku.“ Dian...” Bagas ingin memulai pembicaraan, tapi segera aku potong, karena ini akan mengganggu waktu kerjaku. Siswa baru di kelasku ini tidak perlu banyak tahu.
“ Maaf Bagas, aku mesti kerja nih, mesti cepat”
“ Eh... iya, baiklah”
Kenapa juga Bagas harus jadi keponakan bu Rohma, tempat aku bekerja. Bagas mungkin tidak mempersoalkan pekerjaanku ini, dia kelihatan baik. Walau siswa baru, tapi dia tanggap terhadap situasi. Seperti yang terjadi di sekolah tadi, Tania cs mengejek dan menjahili aku, tapi Bagas yang merupakan siswa baru di sekolah, hadir sebagai pahlawan. Dia membelaku dari keisengan Tania cs dan juga membantuku kala aku hampir pingsan di sekolah. Ya... akhir – akhir ini aku sering sekali sakit kepala. Aksi aku yang tak mau berbicara dengan Bagas sekarang, bukan berarti aku tidak berterima kasih, cuma aku tidak mau merepotkan orang lain, dan dikasihani!
Setelah selesai mencuci, tugas lainnya adalah menggosok. Aku menuju kamar di mana biasa aku menggosok, tepatnya dekat ruang tengah di keluarga ini. Aku lihat Bagas sedang menonton tv. Bagas hanya diam dan memperhatikan aku bekerja.
“ Dian, kalau mau minum ambil sendiri ya” Bagas menawarkan minum.
“ Iya” jawabku singkat.
Tak berapa lama, bu Rohma pulang, Bagas bergegas membawa belanjaan bu Rohma ke dapur. Kemudian bu Rohma, mengampiriku yang sedang mengosok pakaian.
“ Aduh Dian... ibu sampai lupa, hari ini jadwal kamu menggosok di sini, untung ada Bagas di rumah” bu Rohma menyapa, kemudian berkata lagi “ Oh ya sini dulu Bagas!”
Bagas mengampiri budenya dan aku.
“Iya bude” jawab Bagas
“ Ini Dian, dia satu sekolah sama kamu” bu Rohma berusaha mengenalkan kami.
“ Iya bude, sudah kenal, kita satu kelas kok” lanjut Bagas
“ Wah Bagus itu... Dian ini juara kelas loh, kamu bisa belajar dari dia, kamu kan belum banyak mengerti di sekolah yang baru ini” lanjut bu Rohma kepada Bagas.
“ Iya bude” jawab Bagas singkat.
“ Nak Dian, mau kan membantu Bagas beradaptasi di sekolah?” tanya bu Rohma.
“ Iya bu” jawabku singkat.
Bagas terlihat tersenyum mendengar jawabanku itu.
Setelah tugasku selesai semua, aku berpamitan pulang. Bagas mengantarkanku sampai depan rumah. “ Ehmm, kamu kok diam aja, seperti ingin menjaga jarak” Bagas memulai percakapan di depan rumah bu Rohma.
“ Lalu? Apa aku harus pura-pura dekat begitu? Kita kan baru kenal, walau kamu sudah bantu aku di sekolah tadi, bukan berarti kita berteman. Di kelas, tidak ada seorangpun yang mau berteman denganku!” jawabku ketus.
“ Dian... mungkin itu perasaanmu saja, karena ada sebagian siswa yang usil itu, tapi tidak semua...” Bagas menegaskan.
“ Sudah ya, aku mau pulang, sudah mau Magrib” jawabku sambil berlalu.
Bagas hanya tertunduk diam, melihat reaksiku.
Cuaca sore ini tidak begitu bersahabat, awan hitam telah memenuhi langit yang luas itu. Pertanda hari akan hujan, dan aku harus sampai di rumah sebelum hujan turun. Ternyata guruh dan petir tak kalah hebatnya, mulai memperlihatkan kegagahannya di atas sana. Rintik hujanpun mulai berjatuhan. Aku segera lari menyusuri blok demi blok menuju gubukku di ujung sana. Rambutku mulai basah, baju lusuh inipun sudah menempel tepat di badan, dan aku terus berlari...
Setiba di depan rumah, keadaan tak seperti biasanya. Suasana ramai tetapi hening, ada beberapa tetangga berdatangan membawa payung. Susunan payung di depan rumahpun tak tersusun rapi, ada yang dikuncupkan, ada yang dikembangkan, bergerak ke kiri dan ke kanan ditiup angin dan didera air hujan. Pasti ada sesuatu yang terjadi di rumahku. Seketika aku mengingat ibuku...
“ Ada apa ini?” aku menghampiri adikku yang terisak sedih di sudut ruangan. Dia hanya diam, tapi aku segera tahu, ibu telah terbujur di ruang tengah yang sempit ini. Telah tertutup kain batik panjang. Tangisku pecah, lelah setelah bekerjapun menjadi bertambah, tangan, badan dan kakiku seakan tak bisa digerakkan. “Cobaan apa lagi ya Tuhan yang kau beri kepadaku” tanyaku dalam hati.
Joan adikku menangis terseduh-seduh. Aku memeluknya, menenangkannya. Walau sebenarnya dirikupun tak tenang, banyak pertanyaan dibenakku. Semua terasa lengkap sudah penderitaanku.
***
Rumah terasa hening, hanya ada aku dan Joan. “Jo...” suara lirihku memanggilnya. Joan menghampiriku, duduk dipangkuanku. “ Iya kak, jangan sedih kak, ayah dan ibu pasti bahagia di alam sana”. Joan yang kecil ini bisa begitu tegar dibanding aku. Kuberi dia senyuman, tanda aku tak bersedih. Predikat yatim piatu segera kami sandang. Kemana saudara-saudaraku? Betapa keji meraka tega melihat kami begini. Semua tak memperdulikan kami. Tetapi semua tak perlu disesali, aku harus berpandangan ke depan, Joan telah memberi kekuatan bagiku.
“ Joan, dengarkan, mulai sekarang, bila kakak ke sekolah, kamu di rumah saja! Karena kakak tidak mungkin bawa kamu ke sekolah”
“ Iya kak..”
“ Kalau sudah pulang, baru ikut kakak kerja ya” terangku dengan semangat.
“ Iya kak..” jawab Joan lagi dengan tersenyum.
Hari-hari kami lalui dengan penuh kerja sama. Joan anak yang baik dan patuh. Di sekolah aku juga tidak menemui banyak kendala, Tania cs? Hanya gangguan kecil yang tidak berarti lagi bagiku.
Aku dan Joan menyusuri jalan dengan berlari-lari kecil untuk pergi kerja. Hari ini ada dua rumah, jadi harus bergegas agar lebih cepat selesai semuanya. Rumah bu Suci dan juga bu Rohma. Kami ke rumah bu Suci terlebih dahulu. Rumah bu Rohma, bagian yang terakhir, dan kami tiba di rumahnya sudah pukul 16.00 WIB. Aku segera mencuci, Joan membantuku, sehingga pekerjaan menjadi lebih ringan dan cepat.
“ Dian, nanti kalau sudah selesai, temui ibu dulu ya” bu Rohma mengajukan permintaan.
“ Iya bu” jawabku singkat. Dalam hati aku berpikir apakah bu Rohma ingin memberi gajiku atau apa ya? Ehmm semoga hal yang menyenangkan.
Setelah selesai, segera aku temui bu Rohma. Dia berada di teras samping rumahnya. Ada Bagas juga di sana. “ Iya, ada apa bu?” tanyaku
“ Begini Dian, ibu ada permintaan, bisakah kamu meluangkan waktu untuk belajar bersama Bagas di rumah ini. Kamu jangan merasa canggung, ....” suara bu Rohma perlahan hilang dari pendengaranku. Aku limbung, entah kenapa kepalaku terasa berat, sekelebat bayangan Joan nampak di mataku. Brukk aku jatuh dan tak ingat apa-apa lagi...
***
Perlahan aku membuka kelopak mata yang terasa berat ini. Kuperhatikan sekeliling, suasana tampak berbeda, ini jelas bukan gubuk kami. Kupertajam tatapan mataku mencari sosok Joan kecilku, dan aku melihatnya. Dia berada di sampingku, duduk di kursi ruangan ini, ada bu Rohma juga di sana. Ya aku baru ingat, aku tadi pingsan ketika berbicara dengan bu Rohma. Bu Rohma memang majikan paling baik yang aku kenal, pasti dialah yang berinisiatif membawaku kemari.
“ Dian kamu sudah sadar ?, syukurlah ibu khawatir sekali, ibu takut perkataan ibu yang membuat kamu syok atau apa” bu Rohma tampak cemas.
“ Kakak...” Joan merangkulku, “ Kakak jangan sakit, Joan takut...”
“ Iya sayang, dan terima kasih ibu sudah membantu saya” Ada hal yang aku cemaskan selain kondisiku, yaitu biaya rumah sakit ini, sebenarnya aku cukup di kipas-kipas saja agar bangun dan tak perlu dibawa kesini.
“ Dian, jangan risaukan biaya rumah sakit ini, ibu nanti yang tanggung jawab” bu Rohma seakan mengetahui isi hatiku. Aku mengangguk dan tersenyum padanya.
Malam ini Bagas yang menunggui aku di rumah sakit. Bu Rohma dan Joan pulang, Joan tentunya menginap di rumah bu Rohma. Bagas banyak cerita malam ini, tentang keluarganya, juga nasibnya yang hampir sama denganku. Dia memintaku untuk lebih terbuka, dan menerima uluran tangan orang lain.
Paginya, pintu kamar diketuk, ternyata jadwal kunjungan dokter. Seorang Dokter dan beberapa perawat masuk ke dalam ruangan.
“ Saya baik-baik saja dok, kalau bisa minta pulang hari ini” aku mengajukan permintaan.
“ Belum bisa dek, apakah ada keluarga, ibu atau ayah misalnya, ada hal yang perlu saya sampaikan”
Aku dan Bagas berpandangan. “ Saya tidak punya keluarga lagi Dok, silahkan berbicara langsung kepada saya” kulihat wajah Dokter yang serius itu. Mau bicara sama siapa lagi, toh aku sendiri di dunia ini, Bagas? Dia bukan siapa-siapa.
“ Apakah dek Dian sering pusing atau sakit kepala?” Dokter bertanya.
“ Iya”
“ Pingsan?”
“ Tidak juga, ada beberapa kali” jawabku.
“ Ehm... ini baru prediksi awal, adek terkena miningitis, tapi kita perlu pemeriksaan lebih lanjut, jadi belum boleh pulang dulu ya” dokter tersenyum kemudian berbicara dengan perawat sebelum keluar ruangan.
“ Bagaimana ini Dian, penyakit apa tadi itu kata dokter? Tetapi sebaiknya kamu tetap di sini, sampai benar – benar sembuh” saran Bagas. Ya... sekarang Bagas menjadi akrab akibat insiden ini. Tapi aku tidak begitu memperdulikannya lagi, aku pernah membaca mengenai penyakit ini. Ini penyakit mematikan, akibat bakteri yang sampai ke otak, angka kematian bisa mencapai 50%.
Hidupku memang telah tertutup awan hitam, malah tubuhku telah terselimuti, tak ada celah lagi sepertinya. Aku harus bagaimana ya Tuhan, apakah meneruskan berobat dengan biaya yang tidak ada, atau malah memberatkan orang lain... sungguh aku tidak sanggup, toh aku akan mati juga nantinya.
“ Kita langsung mengurus keluar saja sama bagian administrasi Bagas, aku pulang saja, miningitis penyakit biasa kok, tidak perlu dikhawatirkan” jelasku. Bagas hanya mengangguk, karena tidak mengetahui hal yang sebenarnya.
Telah seminggu aku keluar rumah sakit, aku juga telah berhenti bekerja. Ada beberapa tabungan diam-diamku yang rencana kugunakan untuk modal kuliah, aku beritahukan kepada Joan. Sekarang Joan harus mandiri, dia menyimpan uang simpanan UHF
itu dan ada beberapa perhiasan ibu yang masih tertinggal. Joan yang berumur 6 tahun telah dewasa sebelum umurnya, dia telah ditempa. Aku ingin tidak ada sesuatu yang mengganjal lagi nantinya.
Penyakitku bertambah parah, tapi Joan sudah kuberi tahu, apabila aku jatuh pingsan dan lama, cukup tunggui saja, jangan panik. “ Kalau kakak tak bernyawa lagi, pergilah ke panti itu ya, kakak sudah menghubungi kepalanya kemarin” kataku kepada Joan suatu hari. Aku berencana menitipkan Joan ke panti asuhan.
“ Kakak jangan ngomong seperti itu, kakak tidak akan pergi jauh...tidak akan meninggalkan Joan...” Joan memelukku. Kami menangis bersama. Lambat laun, hal ini pasti terjadi. Gejala sepele yang dari dulu aku rasakan, tak kuperdulikan sampai dokter mendiagnosanya.
Joan selalu bersamaku akhir-akhir ini, kami menghabiskan waktu bersama.        “ Joan...ingat semua pesan kakak, kakak akan tersenyum bahagia jika Joan baik-baik saja” kataku lirih.
“ Kakak...” Joan memelukku erat, seakan tak ingin berpisah, badannya berguncang hebat, suara tangisan yang tertahan di mulutnya membuat dia begitu lemah. Hangat tangannya masih kurasa, aku tidak mau pergi Joan, sungguh..tapi inilah nasib kakakmu. Seketika datanglah malikat menjemputku, waktuku telah tiba, Dia membuka selimut hitam yang terasa berat kugunakan, membebaskanku dari beban dunia, dan membawaku pergi selamanya...
END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar