Sabtu, 11 Januari 2014

PERJALANAN MONBUKAGAKUSHO PART 1

Ketika aku menuliskan kata-kata part 1, aku berharap ada part-part selanjutnya. Mengenai Monbukagakusho sebenarnya telah kuketahui sejak lama, dan baru tahun ini rencana mendaftar beasiswa untuk program teacher traning 2014. Tinggal hitungan hari, sejak aku menuliskan postingan ini, dokumen harus sampai ke kedutaan Jepang.

Berbicara mengenai persiapan, tidak ada sama sekali. Aku hanya menyiapkan dokumen yang telah ditentukan, kemudian mengirimkannya. Trus...menunggu panggilan tes Bahasa Inggris. Melalui beberapa senior yang telah mendapatkan beasiswa ini, aku mendapatkan info, bahwa dokumen harus benar-benar sesuai dan memenuhi kriteria dari panitian di kedutaan.

Aku ingat, dalam minggu lalu, datang kembali ke kampusku untuk mendapatkan dokumen ijazah dalam bahasa Inggris. Semua itu memerlukan waktu lebih kurang lima hari. Bolak balik UPT Bahasa Inggris ke gedung Rektorat, sungguh pengalaman yang sangat mengesankan. Aku juga tak menyangka, akan melakukan hal ini di masa sekarang. Soalnya dulu waktu kuliah, aku tak pernah memikirkan akan mengurus beasiswa dan ke luar negeri lagi.

Manusia hanya berusaha dan tak berhenti berharap serta berdo'a. Aku ingin nanti menuliskan perjalanan Monbusho part 2 nya. Ganbatte!!!

CERPEN INSPIRATIF



SUPIAH
Diana Harumori


Udara segar pagi ini, aku buru-buru bangun dari tempat tidurku, kulihat seperti biasanya nenek sudah bangun dari subuh tadi. Nenek sudah sholat subuh, dengan menyisiri dinding kamar ini tentunya, ya...itulah nenek. Kebutaan sudah dialaminya sejak ibuku masih kecil, awalnya sakit kepala yang begitu mendera, lama-lama kepala susah untuk diangkat, dan akhirnya matanya buram dan tidak bisa melihat sama sekali. Waktu itu kakekku adalah seorang ABRI, tentunya cukup mampu mengobati nenek. Tetapi nenek menolak pengobatan, karena hanya ada satu kemungkinan pengobatan yaitu dengan pencangkokan mata. Nenek tidak mau, katanya biarlah saja...Alasan yang tidak begitu jelas.
Seperti biasa, pagi ini siap-siap ke kampus. Karena sudah kesiangan aku jadi malas buat sarapan. Ibuku hampir berbarengan denganku berangkatnya, begitu juga dengan bapak. Adik-adikku tentunya lebih pagi lagi berangkat ke sekolah. Semua menjalankan rutinitas seperti biasa, dan nenek...menjaga rumah. Kenapa nenek menjaga rumah ? Padahalkan buta ? Bagaimana kalau dia ingin makan atau sesuatu yang lainnya?. Tenang, entah bagaimana nenek sudah hapal denah rumah ini, mungkin karena kebutaan yang sudah begitu lama membuat dia sudah sangat terbiasa dengan keadaan. Untuk makan, nenek meraba-raba lemari makan, bahkan nenekku bisa mencuci piring, mencuci pakaian, bahkan menjahit bajunya sendiri (hanya bagian depan dan belakang dasar saja yang dia tanyakan kepada kami). Benar-benar nenek yang hebat.
Pernah suatu ketika nenek bercerita kepada kami, setelah tentunya keluarga berkumpul dimalam hari. Sambil duduk-duduk, nenek mulai bercerita.
“ Tadi ada tukang buahan yang datang, nenek mendengar suara teriakannya, dan bermaksud membeli” nenek membuka cerita. Kami dengan tenang mendengarkan ceritanya.
“ Buah apa nek yang dijual?” tanyaku.
“ Ya ada pepaya, nenek sangat selera ketika merabanya” nenek diam sejenak, seperti membayangkan betapa enaknya pepaya tadi.
“ Tetangga waktu itu tidak ada yang main ke rumah kita, mungkin lagi pada sibuk masak, ya.. pepaya tadi bentuknya bagus, belum begitu masak, jadi enak kres-kres begitu.. Harganya katanya 6.000 rupiah” kata nenek.
“ Terus nenek beli?” kata adekku menyela pembicaraan,
“ Iya, itu ada di dapur. Tapi sayangnya si bibi tukang buah itu bohongin nenek” terlihat raut wajah nenek sedih.
“ Emang kenapa mak ?” ibuku kali ini yang bertanya.
“ Ya, tadi nenek mengeluarkan uang 20.000  rupiah, dia bilang itu uang 10.000 rupiah, jadi uang nenek hanya dikembalikan 4.000 rupiah saja” nenek menjelaskan
“ Kenapa nenek tidak ngomong?” tanyaku kesal.
“Sudah dan dia bilang memang segitu, ya nenek bilang aja, ya sudah kalau bibi melihatnya begitu. Tapi saya yakin uang saya itu 20.000 rupiah”
“ Ehmm mungkin dia pikir nenek tidak tahu uang kali nek, dikiranya buta, jadi gak tahu itu uang berapaan, padahal belum tahu dia, kalau nenek dari uang sekecil apapun pasti tahu”. Kami sekeluarga tertawa melihat orang yang berlaku tidak jujur itu. Tetapi nenek telah mengikhlaskan.
Sembari mengupas buah pepaya, aku berpikir sejenak mengenai hal yang dialami nenek selama kami tidak ada. Hmm nenek memang hebat dalam segala hal walaupun punya keterbatasan. Mengapa nenek tahu mengenai uang berapa saja di saku bajunya. Itu karena nenek punya gaji pensiun. Setiap awal bulan pak pos datang ke rumah mengantarkan gaji nenek. Sebelum dimasukkan ke dalam saku bajunya, nenek biasanya bertanya dulu kepada ibuku. Pecahan berapa saja uang-uang itu, kemudian membaginya atau menyusunnya sesuai dengan perkiraan posisi yang mudah dihapalnya. Begitu juga kalau kepengen beli sesuatu, kembalian uangnya ia tanyakan kepada kami, kemudian masuk kelipatan tertentu dalam sakunya. Biar teguh, biasanya dikasih karet gelang hehe...
Suatu siang dihari aku tidak pergi ke kampus. Aku menghabiskan waktu di rumah, nonton televisi seperti biasanya, atau membaca buku cerita. Tiba-tiba pintu depan diketuk seseorang. Ternyata rekan kampusku mengunjungiku, biasa mereka anak kos jadi mudah untuk keliaran, jalan-jalan, main ke rumah teman dan lainnya, asal ada uang saja.
  Ayo-ayo masuk !” kataku kepada teman-teman.
“ Maaf nih datang tidak bilang-bilang soalnya idenya dadakan sih.” Kata Meta menjelaskan kedatangannya.
“ Iya gak apa-apa kok, biasa aja kali...” senyumku mengembang karena ada teman ngobrol tentunya, dari pada bete sendirian, eh ada nenek, tapi ya itu.. kalau sama nenekkan ngobrolnya kurang nyambung. Ntar dia cerita sejarah, masa perang, masa penjajahanlah, sehingga aku jadi ngantuk mendengarnya.
Meta tidak datang sendiri, dia ditemani Ani, Osy dan Tara. Mereka berempat memang satu tempat kos. Kami berbincang di ruang tamu dengan asiknya, ketawa-ketawa, bergosip ria dan terkadang ngomongin tabiat dosen yang aneh-aneh. Kulihat nenek keluar kamarnya dan menuju ruang tamu, tetapi berhenti di pintu menuju ruang tamu. Dia jongkok, sesekali mendengarkan pembicaraan kami. Ya... nenek menguping pembicaraan!!, terkadang dia ikutan nimbrung topik yang tidak jelas. Sehingga kadang aku malu dengan ulah nenek, dan teman-teman ikutan salah tingkah serta tidak bebas lagi bercerita. Kalau sudah begini, kami harus berbisik-bisik untuk cerita hal-hal aneh lainnya, dan nenek tentunya lebih menajamkan lagi frekuensi pendengarannya.
Setelah teman-teman pulangpun, nenek selalu memberi komentar, anak siapa tadi? siapa namanya? yang satu itu kenapa? Kok kalian ngomongin orang lain? Orang asli daerah mana mereka? Kok logaknya begitu? Sampai-sampai suara mereka nenek bisa hapal siapa-siapa saja. Nanti kalau temanku itu datang lagi, dia sudah hapal nama dan sekaligus biodatanya. Duh nenek, seperti tidak tahu anak muda zaman sekarang, pengen bebas, hal ini yang buat aku dan adik-adikku terkadang kesal dengan nenek.
Setiap malam akulah yang menemani nenek tidur, karena aku cucu perempuan satu-satunya di rumah ini. Menjelang tidur biasanya nenek bercerita banyak hal, entahlah nenek suka sekali bercerita, ada- ada saja hal yang diceritakan, mengenai masa silamnyalah, perjuangan kakekku, masa penjajahan jepang, sampai-sampai gosip di televisi dan yang beredar ditetangga dia tahu. Kadang aku menjadi pendengar yang baik, terkadang juga mataku terlelap sudah, hanya suara lirih pertanda masih sayup-sayup mendengar, dan tak tahu kapan nenek mengakhiri ceritanya.
Disuatu malam lain menjelang tidur, aku memperhatikan raut muka nenek. Dia benar-benar renta, kulitnya sudah keriput, tubuhnya kurus, giginya sudah berkurang jumlahnya, dan yang adapun kwalitasnya sudah usang, terbesit dipikiranku, alangkah susahnya nenek untuk makan, apalagi lauk-lauk yang keras. Bagaimana dia dengan mudahnya berjalan dengan kaki yang begitu rapuh dan kurus, belum lagi dengan penglihatan yang telah hilang, merayap-rayap menyusuri dinding, meraba-raba sesuatu, menebak bentuk apakah itu, apakah benar itu yang dia cari?. Nenek jarang mengeluh sakit, hanya sesekali mengeluh sakit perut, pusing dan penyakit biasa lainnya. Kutatap matanya yang berwarna keputihan itu, apa yang terlihat di sana?. Cahaya hitamkah atau apa. Ehmm entahlah aku tak begitu bisa menyelami hati nenek, nenek nampak kuat dimataku.
Dimasa kami masih kecil, bapak dan ibu bekerja, kami tidak diasuh oleh pengasuh melainkan nenek. Tinggal hanya berdua (sebelum adikku lahir) dengan nenek di rumah yang tidak ada orang dewasa normal lainnya. Untungnya rumah kami terletak di komplek yang kebanyakan ibu rumah tangga, dan mereka biasanya melihat nenek sesekali alias mengecek. Berdua dengan nenek ketika aku masih kecil itu, aku benar-benar tidak punya rekaman memori yang dapat diingat, hanya ibuku bercerita, bahwa neneklah mengajarkan aku berhitung, satu, dua, tiga dan seterusnya.. Nenek juga yang mengajarkan aku bernyanyi lagu anak- anak tempo dulu.
Akupun rutin buang air besar di pagi hari, hanya saat ibuku belum pergi kerja. Setelah ibuku pergi kerja, aku hanya disuapi bubur, dibuatkan susu, yang sudah disiapkan ibu tentunya. Semua itu nenek yang mengerjakan sendiri. Aku yang masih kecil pun tidak rewel, mungkin Tuhan tahu dan memberi kemudahan bagi nenek. Segalanya terlihat sederhana dan mudah. Hingga simsalabim kami tumbuh besar dan sehat. Nenek mengajari kami banyak hal dari kami masih kecil hingga sekarang.
Kondisi nenek yang sudah tua, membuat dia menjadi lebih cerewet dan banyak bicara. Sifat kekhawatiran juga lebih meningkat. Banyak nasehat yang keluar dari bibirnya. Terkadang karena lelah aku juga suka membantah, kalau sudah begitu nenek diam, merajuk dan kemudian berkata:
“ Aku ini tidak akan lama lagi, mengapalah Tuhan tidak segera menjemputku...”.
“ Ah nenek itu terus yang diomongin, kalau belum ajal, belumlah nek...” aku menyela karena kesal itu-itu saja yang disebut.
Begitu juga adik-adikku, terkadang tingkah nenek yang ingin mengetahui sesuatu urusan mereka, mereka menjadi marah dan kesal. Kalau sudah begitu, nenek hanya diam, wajahnya menjadi sedih. Aku tahu itu...Aku tahu kesedihannya ketika kami membentaknya, tetapi ego masa remaja membuat kami menjadi tidak perduli. Hal ini hanya berlangsung sesaat, dalam hitungan jam kadang suasana menjadi cair kembali.
Bertahun-tahun hidup bersama nenek, aku menjadi cucu kesayangannya. Aku selalu menemani dia di waktu luang dan juga ketika tidur. Sekarang hal itu tidak bisa dilakukan lagi, karena aku telah menikah. Aku telah pindah dari rumah Ibu. Tetapi masih dalam satu kota. Setiap akhir pekan, aku dan keluarga kecilku mengunjungi nenek. Wajahnya terlihat sangat senang. Apalagi setelah aku mempunyai anak, anakku pun sangat disayang olehnya. Apabila kami tidak datang berkunjung, dia selalu bertanya-tanya
“ Kenapa tidak bisa datang ?” tanya nenek.
“ Sibuk kah kalian? Sesibuk apapun sempatkanlah datang kemari” nenek berharap
“ Iya nek, kemarin papanya lagi dinas ke luar kota, jadi kami tidak ada yang mengantar” jawabku.
“ Ya tapikan bisa naik angkot, atau minta jemput adikmu ivan” nenek berkomentar.
“ Iya nek, lain kali telpon ivan deh, kalau tidak ada yang mengantar” jawabku.

Dihari lain, disaat siang yang terik, ibu menelpon aku. Membicarakan prihal nenek. Ibu berharap aku bisa datang ke rumah.
“ Nenek sakit, kemarin kepalanya terbentur dinding” ibu menerangkan.
“ Kok bisa? Sampai terbentur dinding? Tanyaku dari seberang melalui telpon.
“ Iya nenek akhir-akhir ini lebih lesu dari biasanya. Karena lemas begitu, mungkin pas jalan terbentur dinding karena badannya yang oleng” ibu menerangkan detailnya.
“ Iya, mungkin nanti sore aku datang bu”
“ Iya datanglah bawa anak-anak sekalian ya”
“ Iya” telponku terputus.
Sejenak pikiranku melayang, memang sejak tidak tinggal di rumah ibu lagi, aku tidak begitu memperhatikan nenek lagi. Aku juga sudah sibuk dengan rutinitas kerjaku, anak-anak dan keluarga. Bagaimana nenek yang aku anggap kuat, sekarang sudah terlihat sangat lemah. Mungkin faktor usia juga menjadi pemicunya.
Sore itu aku datang main ke rumah ibu, menepati janji untuk melihat nenek. Kulihat nenek berbaring di kamarnya, di kamar yang biasa kami tiduri berdua, di mana masa-masa kecil dan remajaku kuhabiskan bersamanya. Dimana setiap malam aku mendengarkan cerita yang silih berganti dari bibirnya. Nenek tidur saat itu, ketika kami masuk, matanya terbuka perlahan. Instingnya masih jalan, bahwa ada orang yang datang.
“ Gimana nek? kok sampai benjol begini?” aku lihat tidak begitu parah, hanya benjolan besar di keningnya.
  Tadi lemas saja jadi jalannya oleng, hingga membentur dinding” terang nenek.
  Belum makan ya tadi? kok lemas begini nek?” tanyaku
“ Tidak juga, makan biasa saja. Cuma kaki sekarang sedikit lemas, persendian rasanya sakit semua” keluh nenek.
“ Ya ke bidan Lesti lah nek buat periksa, mungkin rematik atau asam urat” saranku.
“ Iya lah” jawabnya singkat.
Kami akhirnya berbicara hal lain-lain lagi, nenek sudah tidak sebegitu menderita seperti waktu aku datang tadi, wajahnya ceria ketika dikunjungi. Mungkin begitulah orang tau, tak ada obat yang mujarab selain kumpul bersama keluarga tercinta. Penyakit nenek aku rasa penyakit yang memang menyerang orang tua seumur dia. Ini saja, nenek termasuk sehat untuk orang seumurannya, dia lebih bersemangat, keluhannya tidak begitu banyak.
Untuk saat ini, nenek bakalan susah untuk berkeliling ruangan di rumah ini. Kakinya sudah tidak kuat lagi. Ibu mulai menyiapkan kebutuhan nenek di atas meja di dalam kamar, jadi nenek tidak perlu ke luar ruangan. Ibu menyiapkan air dalam botol dan beberapa cemilan untuk nenek. Begitu juga untuk makan, ibu atau adik-adikku bergantian menanyakan dan menyiapkan untuknya.
“ Ivan .....” teriak nenek dari kamarnya
Bergegas ivan berlari menuju kamar. “ Ada apa nek?” tanya ivan.
“ Bantu nenek ke kamar mandi, nenek mau wudu’” jawab nenek
“ Gak usah sholat dulu lah nek” kata ivan.
“ Kan masih bisa sambil tidur sholatnya, jangan banyak alasan, nenek masih mampu, kamu bantu nenek ke kamar mandi saja!” nenek tetap kukuh ingin sholat.
Setelah selesai wudu’, ivan mengantar nenek ke kasurnya kembali. Nenek mengatur posisi tidurnya, kemudian menunaikan sholat wajibnya. Ivan segera meninggalkan nenek di kamarnya sendiri setelah meyakinkan nenek dalam posisi yang nyaman.
Tetapi nenek tetaplah nenek, kerapuhannya hanya sesaat. Dia bangkit lagi menjadi nenek yang kami kenal, menyusuri ruangan kemudian ikut duduk bersama di ruang keluarga, dia tidak biasa berdiam diri di kamar. Dia ingin mendengar suara-suara, cerita-cerita yang diceritakan oleh keluargannya. Nenek tak menyadari kekurangannya atau nenek menyadarinya dan menjadikannya pribadi yang lebih kuat lagi. Hampir puluhan tahun kebutaan itu telah menempanya menjadi kuat dan semakin kuat. Nenekku tentunya berbeda dengan nenek kalian, atau mungkin ada yang sama?. Dalam kebutaannya iya masih terus mengajarkan kami untuk mensyukuri nikmat Tuhan.
“ Kalian saja yang normal kok banyak mengeluh, banyak orang di luar sana yang kurang beruntung, baik itu fisiknya, ekonominya, jalan hidupnya...ya...bermacam-macam, tetapi tidak mengeluh. Jadi syukuri nikmat yang Tuhan beri ke kalian. Kalau kalian tiba-tiba jadi seperti nenek, siap tidak? Dunia akan gelap gulita, tidak bisa melihat wajah-wajah orang yang kalian kasihi, tidak bisa melihat matahari pagi, tidak bisa melihat ekspresi orang yang sesekali mempermainkan kalian” nasehat nenek kala itu.
Beberapa minggu berikutnya. Aku mendapatkan telpon kembali dari ibuku. Prihalnya sama, mengenai kondisi nenek, nenek tersungkur lagi ketika berjalan di dalam rumah. Ibu memintaku untuk datang menjenguk nenek. Kami bergegas ke rumah ibu, aku menyiapkan beberapa pakaian ganti untukku dan anak-anak, karena suami mungkin tidak bisa ikutan menginap karena tugasnya yang menumpuk. Aku berencana untuk menginap saja kali ini di rumah ibu, ingin sama-sama dengan keluarga seperti dulu. Tidur bersama nenek lagi dan anak-anak, ada perasaan hilang sejak aku tidak ada di rumah itu lagi.
Kulihat nenek terbaring lemah di kasurnya, kali ini benar-benar lemah. Tersungkur di ruangan mungkin menyebabkan badannya sakit semua. Dia tak bergerak ketika kami masuk ke kamarnya, tidak seperti biasa. Nenek benar-benar sakit, sakit yang tak tertahankan. Matanya tertutup rapat, kulihat goresan keriput memenuhi wajahnya, iya memakai kain batik yang sudah agak lusuh, baju yang dikenakan adalah baju hasil jahitannya lebaran tahun lalu. Nenek yang kuat sekarang telah melemah, kakinya bertambah kurus, hanya kulit membalut tulang saja. Kata ibuku, makannya sudah sedikit, membuat nenek tambah tak bertenaga.
Penyakit tua telah menghampirinya, rambut putihnya telah semakin menipis, terlihat kulit kepalanya yang tidak begitu baik lagi. “Nenek bangunlah” hatiku berkata. Sesaat aku rindu ocehan, cerita dan nasehatmu. Apabila kau diam seperti ini, dunia seakan menjadi sunyi, rumah ini seperti tak ku kenal lagi. Hanya suara nenek yang biasanya memenuhinya. Aku merasa kosong. Nenek terbaring sakit dan tak mengetahui kedatanganku dan anak-anak. Nenek seperti anak kecil yang sedang tertidur pulas. Aku mendekati tempat tidurnya. Mengelus badannya, terasa kurus sekali. Nenek masih diam saja, mungkin memang benar-benar lelah.
“ Nek, bangunlah, makan yuk...” ajakku dengan suara perlahan.
Nenek sedikit mengeliatkan badannya. Tetapi masih diam tak mengeluarkan suara. Perlahan matanya membuka, terlihat bola matanya yang putih keabu-abuan itu.
“ Udah datang ra? Mana naurah? Dia menanyakan anakku
“ Ada di depan lagi main sama paman ivannya” jawabku.
“ Makan yuk nek..” ajakku lagi.
“ Belum lapar” jawab nenek singkat.


Seketika matanya terpejam kembali, seperti benar-benar berat sekali. Jawaban yang keluar dari bibirnya pun sedikit saja tidak seperti biasanya.Aku hanya mengurut-urut badannya seadanya saja, karena memang tubuh ini hanya kulit pembalut tulang saja. Ternyata nenek tidak benar-benar tidur, suara lirihnya kemudian keluar.
“ Nenek cuma sakit biasa saja, nanti baik kembali” suaranya menghentikan gerakan tanganku.
“ Jangan dianggap remeh nek, kalau ada yang dirasakan nenek, katakan saja, kita antar pergi berobat” jawabku.
  Apa yang perlu diobati, tidak ada” suaranya terputus, kemudian dia lanjutkan lagi.
“ Nenek memang sudah tua, kemampuan juga sudah berkurang, ikhlaskan saja kalau suatu waktu dipanggil olehNya. Nenek ingin jujur kepada kalian, bahwa sebenarnya nenek sekarang tidak begitu kuat lagi, tapi tidak apa-apa, itu memang keterbatasan namanya. Kenapa nenek selalu hebat dimata kalian, ingin tahu urusan kalian, selalu ikut nimbrung segala sesuatunya, itu karena nenek sayang kalian.” Ia menghela napas sebentar, kemudian lanjut lagi:
“ Nenek berupaya menjadi orang yang tegar dihadapan kalian agar kalian belajar bahwa dengan kekurangan saja nenek selalu kuat, selalu berusaha, apalagi kalian yang diberi kesempurnaan. Kerjakanlah segala sesuatu dengan baik dan ikhlas serta jangan banyak mengeluh”
“ Iya nek,nenek selama ini menjadi tauladan bagi kami, karena itu, nenek jangan ngomong yang lain-lain lagi, nenek harus sehat dan kuat.” tak terasa air mata jatuh bercucuran, mengenang bagaimana nenek mengasuh kami dari kecil, mengajarkan kami banyak hal, memberi contoh, menyemangati, memberi nasehat ditengah keterbatasannya. Ia berusaha kuat dan mengerjakan semuanya untuk menjadikan kami manusia yang lebih tangguh. Manusia dengan penuh rasa syukur kepadaNya. Akan selalu aku ingat dalam hati ini nama nenekku, Supiah, dan aku begitu menyayanginya.

CERPEN



 Berselimut Awan Hitam

 “ Dian.... jangan tidur terus, pergilah ke rumah bu Rohma untuk cuci pakaian, nanti keburu sore!” teriak ibu dari kamarnya. Aku segera saja bangkit dari tidur siang yang tidak seberapa lama. “ Iya bu... “ jawabku singkat. Aku segera bersiap dan bergegas ke rumah bu Rohma. Ya...inilah aku “Dian” seorang gadis  miskin dan aku juga adalah babu di rumah orang untuk memenuhi kebutuhan keuangan keluargaku. Karena ibu, sudah sering sakit-sakitan, banyak pikiran akibat keluarga yang jatuh bangkrut, dan ayah yang telah berpulang untuk selamanya. Semua itu membuat aku harus bertahan untuk hidup.
Setiba di depan rumah bu Rohma, aku lihat mobil yang biasa parkir tidak ada. “Apa bu Rohma pergi ya?” tanyaku dalam hati. Tapi kuputuskan untuk memencet bel terlebih dahulu untuk memastikan. Tak berapa lama, pintu terbuka, dan Bagas yang berdiri di pintu itu. Hah... murid baru di sekolahku tinggal di sini? Benar-benar musibah!
“ Dian?” tanyamu kaget. Aku tentunya lebih kaget lagi, apa yang harus aku katakan pada si Bagas ini. “Realistis ajalah Dian” pikirku.
“ Eh Bagas... aku kerja di rumah ini” jawabku singkat, dan berharap dia tak bertanya lagi.
“ Kerja di sini? Eh... Maksudnya? tanya Bagas lagi.
“ Ehmm ya... aku bantuin nyuci di rumah Bu Rohma selama ini, kamu tinggal di sini ya?” aku balik bertanya, aku sudah putuskan, malu tidaklah ada gunanya.
“ Iya, ini rumah bude’ ku, ayo masuk!” jawabmu ramah.
“ Iya” jawabku sambil berlalu menuju tempat biasanya mencuci.
Bagas terlihat mengekor di belakangku.“ Dian...” Bagas ingin memulai pembicaraan, tapi segera aku potong, karena ini akan mengganggu waktu kerjaku. Siswa baru di kelasku ini tidak perlu banyak tahu.
“ Maaf Bagas, aku mesti kerja nih, mesti cepat”
“ Eh... iya, baiklah”
Kenapa juga Bagas harus jadi keponakan bu Rohma, tempat aku bekerja. Bagas mungkin tidak mempersoalkan pekerjaanku ini, dia kelihatan baik. Walau siswa baru, tapi dia tanggap terhadap situasi. Seperti yang terjadi di sekolah tadi, Tania cs mengejek dan menjahili aku, tapi Bagas yang merupakan siswa baru di sekolah, hadir sebagai pahlawan. Dia membelaku dari keisengan Tania cs dan juga membantuku kala aku hampir pingsan di sekolah. Ya... akhir – akhir ini aku sering sekali sakit kepala. Aksi aku yang tak mau berbicara dengan Bagas sekarang, bukan berarti aku tidak berterima kasih, cuma aku tidak mau merepotkan orang lain, dan dikasihani!
Setelah selesai mencuci, tugas lainnya adalah menggosok. Aku menuju kamar di mana biasa aku menggosok, tepatnya dekat ruang tengah di keluarga ini. Aku lihat Bagas sedang menonton tv. Bagas hanya diam dan memperhatikan aku bekerja.
“ Dian, kalau mau minum ambil sendiri ya” Bagas menawarkan minum.
“ Iya” jawabku singkat.
Tak berapa lama, bu Rohma pulang, Bagas bergegas membawa belanjaan bu Rohma ke dapur. Kemudian bu Rohma, mengampiriku yang sedang mengosok pakaian.
“ Aduh Dian... ibu sampai lupa, hari ini jadwal kamu menggosok di sini, untung ada Bagas di rumah” bu Rohma menyapa, kemudian berkata lagi “ Oh ya sini dulu Bagas!”
Bagas mengampiri budenya dan aku.
“Iya bude” jawab Bagas
“ Ini Dian, dia satu sekolah sama kamu” bu Rohma berusaha mengenalkan kami.
“ Iya bude, sudah kenal, kita satu kelas kok” lanjut Bagas
“ Wah Bagus itu... Dian ini juara kelas loh, kamu bisa belajar dari dia, kamu kan belum banyak mengerti di sekolah yang baru ini” lanjut bu Rohma kepada Bagas.
“ Iya bude” jawab Bagas singkat.
“ Nak Dian, mau kan membantu Bagas beradaptasi di sekolah?” tanya bu Rohma.
“ Iya bu” jawabku singkat.
Bagas terlihat tersenyum mendengar jawabanku itu.
Setelah tugasku selesai semua, aku berpamitan pulang. Bagas mengantarkanku sampai depan rumah. “ Ehmm, kamu kok diam aja, seperti ingin menjaga jarak” Bagas memulai percakapan di depan rumah bu Rohma.
“ Lalu? Apa aku harus pura-pura dekat begitu? Kita kan baru kenal, walau kamu sudah bantu aku di sekolah tadi, bukan berarti kita berteman. Di kelas, tidak ada seorangpun yang mau berteman denganku!” jawabku ketus.
“ Dian... mungkin itu perasaanmu saja, karena ada sebagian siswa yang usil itu, tapi tidak semua...” Bagas menegaskan.
“ Sudah ya, aku mau pulang, sudah mau Magrib” jawabku sambil berlalu.
Bagas hanya tertunduk diam, melihat reaksiku.
Cuaca sore ini tidak begitu bersahabat, awan hitam telah memenuhi langit yang luas itu. Pertanda hari akan hujan, dan aku harus sampai di rumah sebelum hujan turun. Ternyata guruh dan petir tak kalah hebatnya, mulai memperlihatkan kegagahannya di atas sana. Rintik hujanpun mulai berjatuhan. Aku segera lari menyusuri blok demi blok menuju gubukku di ujung sana. Rambutku mulai basah, baju lusuh inipun sudah menempel tepat di badan, dan aku terus berlari...
Setiba di depan rumah, keadaan tak seperti biasanya. Suasana ramai tetapi hening, ada beberapa tetangga berdatangan membawa payung. Susunan payung di depan rumahpun tak tersusun rapi, ada yang dikuncupkan, ada yang dikembangkan, bergerak ke kiri dan ke kanan ditiup angin dan didera air hujan. Pasti ada sesuatu yang terjadi di rumahku. Seketika aku mengingat ibuku...
“ Ada apa ini?” aku menghampiri adikku yang terisak sedih di sudut ruangan. Dia hanya diam, tapi aku segera tahu, ibu telah terbujur di ruang tengah yang sempit ini. Telah tertutup kain batik panjang. Tangisku pecah, lelah setelah bekerjapun menjadi bertambah, tangan, badan dan kakiku seakan tak bisa digerakkan. “Cobaan apa lagi ya Tuhan yang kau beri kepadaku” tanyaku dalam hati.
Joan adikku menangis terseduh-seduh. Aku memeluknya, menenangkannya. Walau sebenarnya dirikupun tak tenang, banyak pertanyaan dibenakku. Semua terasa lengkap sudah penderitaanku.
***
Rumah terasa hening, hanya ada aku dan Joan. “Jo...” suara lirihku memanggilnya. Joan menghampiriku, duduk dipangkuanku. “ Iya kak, jangan sedih kak, ayah dan ibu pasti bahagia di alam sana”. Joan yang kecil ini bisa begitu tegar dibanding aku. Kuberi dia senyuman, tanda aku tak bersedih. Predikat yatim piatu segera kami sandang. Kemana saudara-saudaraku? Betapa keji meraka tega melihat kami begini. Semua tak memperdulikan kami. Tetapi semua tak perlu disesali, aku harus berpandangan ke depan, Joan telah memberi kekuatan bagiku.
“ Joan, dengarkan, mulai sekarang, bila kakak ke sekolah, kamu di rumah saja! Karena kakak tidak mungkin bawa kamu ke sekolah”
“ Iya kak..”
“ Kalau sudah pulang, baru ikut kakak kerja ya” terangku dengan semangat.
“ Iya kak..” jawab Joan lagi dengan tersenyum.
Hari-hari kami lalui dengan penuh kerja sama. Joan anak yang baik dan patuh. Di sekolah aku juga tidak menemui banyak kendala, Tania cs? Hanya gangguan kecil yang tidak berarti lagi bagiku.
Aku dan Joan menyusuri jalan dengan berlari-lari kecil untuk pergi kerja. Hari ini ada dua rumah, jadi harus bergegas agar lebih cepat selesai semuanya. Rumah bu Suci dan juga bu Rohma. Kami ke rumah bu Suci terlebih dahulu. Rumah bu Rohma, bagian yang terakhir, dan kami tiba di rumahnya sudah pukul 16.00 WIB. Aku segera mencuci, Joan membantuku, sehingga pekerjaan menjadi lebih ringan dan cepat.
“ Dian, nanti kalau sudah selesai, temui ibu dulu ya” bu Rohma mengajukan permintaan.
“ Iya bu” jawabku singkat. Dalam hati aku berpikir apakah bu Rohma ingin memberi gajiku atau apa ya? Ehmm semoga hal yang menyenangkan.
Setelah selesai, segera aku temui bu Rohma. Dia berada di teras samping rumahnya. Ada Bagas juga di sana. “ Iya, ada apa bu?” tanyaku
“ Begini Dian, ibu ada permintaan, bisakah kamu meluangkan waktu untuk belajar bersama Bagas di rumah ini. Kamu jangan merasa canggung, ....” suara bu Rohma perlahan hilang dari pendengaranku. Aku limbung, entah kenapa kepalaku terasa berat, sekelebat bayangan Joan nampak di mataku. Brukk aku jatuh dan tak ingat apa-apa lagi...
***
Perlahan aku membuka kelopak mata yang terasa berat ini. Kuperhatikan sekeliling, suasana tampak berbeda, ini jelas bukan gubuk kami. Kupertajam tatapan mataku mencari sosok Joan kecilku, dan aku melihatnya. Dia berada di sampingku, duduk di kursi ruangan ini, ada bu Rohma juga di sana. Ya aku baru ingat, aku tadi pingsan ketika berbicara dengan bu Rohma. Bu Rohma memang majikan paling baik yang aku kenal, pasti dialah yang berinisiatif membawaku kemari.
“ Dian kamu sudah sadar ?, syukurlah ibu khawatir sekali, ibu takut perkataan ibu yang membuat kamu syok atau apa” bu Rohma tampak cemas.
“ Kakak...” Joan merangkulku, “ Kakak jangan sakit, Joan takut...”
“ Iya sayang, dan terima kasih ibu sudah membantu saya” Ada hal yang aku cemaskan selain kondisiku, yaitu biaya rumah sakit ini, sebenarnya aku cukup di kipas-kipas saja agar bangun dan tak perlu dibawa kesini.
“ Dian, jangan risaukan biaya rumah sakit ini, ibu nanti yang tanggung jawab” bu Rohma seakan mengetahui isi hatiku. Aku mengangguk dan tersenyum padanya.
Malam ini Bagas yang menunggui aku di rumah sakit. Bu Rohma dan Joan pulang, Joan tentunya menginap di rumah bu Rohma. Bagas banyak cerita malam ini, tentang keluarganya, juga nasibnya yang hampir sama denganku. Dia memintaku untuk lebih terbuka, dan menerima uluran tangan orang lain.
Paginya, pintu kamar diketuk, ternyata jadwal kunjungan dokter. Seorang Dokter dan beberapa perawat masuk ke dalam ruangan.
“ Saya baik-baik saja dok, kalau bisa minta pulang hari ini” aku mengajukan permintaan.
“ Belum bisa dek, apakah ada keluarga, ibu atau ayah misalnya, ada hal yang perlu saya sampaikan”
Aku dan Bagas berpandangan. “ Saya tidak punya keluarga lagi Dok, silahkan berbicara langsung kepada saya” kulihat wajah Dokter yang serius itu. Mau bicara sama siapa lagi, toh aku sendiri di dunia ini, Bagas? Dia bukan siapa-siapa.
“ Apakah dek Dian sering pusing atau sakit kepala?” Dokter bertanya.
“ Iya”
“ Pingsan?”
“ Tidak juga, ada beberapa kali” jawabku.
“ Ehm... ini baru prediksi awal, adek terkena miningitis, tapi kita perlu pemeriksaan lebih lanjut, jadi belum boleh pulang dulu ya” dokter tersenyum kemudian berbicara dengan perawat sebelum keluar ruangan.
“ Bagaimana ini Dian, penyakit apa tadi itu kata dokter? Tetapi sebaiknya kamu tetap di sini, sampai benar – benar sembuh” saran Bagas. Ya... sekarang Bagas menjadi akrab akibat insiden ini. Tapi aku tidak begitu memperdulikannya lagi, aku pernah membaca mengenai penyakit ini. Ini penyakit mematikan, akibat bakteri yang sampai ke otak, angka kematian bisa mencapai 50%.
Hidupku memang telah tertutup awan hitam, malah tubuhku telah terselimuti, tak ada celah lagi sepertinya. Aku harus bagaimana ya Tuhan, apakah meneruskan berobat dengan biaya yang tidak ada, atau malah memberatkan orang lain... sungguh aku tidak sanggup, toh aku akan mati juga nantinya.
“ Kita langsung mengurus keluar saja sama bagian administrasi Bagas, aku pulang saja, miningitis penyakit biasa kok, tidak perlu dikhawatirkan” jelasku. Bagas hanya mengangguk, karena tidak mengetahui hal yang sebenarnya.
Telah seminggu aku keluar rumah sakit, aku juga telah berhenti bekerja. Ada beberapa tabungan diam-diamku yang rencana kugunakan untuk modal kuliah, aku beritahukan kepada Joan. Sekarang Joan harus mandiri, dia menyimpan uang simpanan UHF
itu dan ada beberapa perhiasan ibu yang masih tertinggal. Joan yang berumur 6 tahun telah dewasa sebelum umurnya, dia telah ditempa. Aku ingin tidak ada sesuatu yang mengganjal lagi nantinya.
Penyakitku bertambah parah, tapi Joan sudah kuberi tahu, apabila aku jatuh pingsan dan lama, cukup tunggui saja, jangan panik. “ Kalau kakak tak bernyawa lagi, pergilah ke panti itu ya, kakak sudah menghubungi kepalanya kemarin” kataku kepada Joan suatu hari. Aku berencana menitipkan Joan ke panti asuhan.
“ Kakak jangan ngomong seperti itu, kakak tidak akan pergi jauh...tidak akan meninggalkan Joan...” Joan memelukku. Kami menangis bersama. Lambat laun, hal ini pasti terjadi. Gejala sepele yang dari dulu aku rasakan, tak kuperdulikan sampai dokter mendiagnosanya.
Joan selalu bersamaku akhir-akhir ini, kami menghabiskan waktu bersama.        “ Joan...ingat semua pesan kakak, kakak akan tersenyum bahagia jika Joan baik-baik saja” kataku lirih.
“ Kakak...” Joan memelukku erat, seakan tak ingin berpisah, badannya berguncang hebat, suara tangisan yang tertahan di mulutnya membuat dia begitu lemah. Hangat tangannya masih kurasa, aku tidak mau pergi Joan, sungguh..tapi inilah nasib kakakmu. Seketika datanglah malikat menjemputku, waktuku telah tiba, Dia membuka selimut hitam yang terasa berat kugunakan, membebaskanku dari beban dunia, dan membawaku pergi selamanya...
END